Wednesday, December 30, 2015

Perlukah Asuransi untuk Ibu Rumah Tangga?

Apa iya sih asuransi itu hanya perlu untuk ayah dan bunda yang bekerja "kantoran" saja? Semantara ibu rumah tangga tidak memerlukan asuransi karena tidak bekerja? Apa benar seperti itu?? Sebelum bicara kebutuhan, Anda harus tahu dahulu fungsi dari asuransi itu sendiri.
Asuransi difungsikan sebagai proteksi atau pelindung asset yang dimiliki seseorang atau keluarga. Sehingga bila terjadi musibah, ia tidak harus mengalami kehilangan atau berkurang asset, karena ada pihak ketiga yang akan mengganti atau melindunginya, sesuai dengan perjanjian yang disepakati.
Untuk keluarga, yang Anda perlukan adalah asuransi kesehatan untuk semua anggota keluarga serta asuransi jiwa untuk yang bertanggung jawab secara ekonomi. Artinya bila si tertanggung terkena musibah maka akan berpengaruh terhadap ekonomi keluarga. Itulah kenapa orang tua yang bekerja harus diasuransikan karena bila mereka tidak ada; maka akan terganggu ekonominya artinya akan berpotensi berubah asset yang dimiliki keluarga.

Tapi izinkan saya menawarkan sudut pandang berbeda.
Pertama, sesungguhnya suami akan sangat terbantu jika istrinya punya asuransi jiwa. 
Bukankah suami istri harus saling membantu? Ketika suami membeli asuransi jiwa atas nama dirinya, ia tengah membantu istri dan anak-anaknya. Ini sesuatu yang baik. Sebaliknya, ketika suami membelikan asuransi jiwa atas nama istrinya, ia tengah membantu dirinya dan anak-anaknya. Ini pun sesuatu yang baik.

Contoh: Seorang suami, karena tidak pernah membaca saran perencana keuangan, menyetujui tawaran agennya untuk membelikan istrinya asuransi jiwa dengan UP sebesar 1 miliar, sama seperti dirinya. Suatu ketika (mungkin beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian), istrinya dipanggil Yang Mahakuasa, maka cairlah uang 1 miliar dari perusahaan asuransi.
Kira-kira apa yang akan dilakukan sang suami dengan uang tersebut? Ini beberapa kemungkinannya:
  • Jika dia punya cicilan (rumah, mobil, dan lainnya), dia bisa melunasi utang-utangnya.
  • Jika dia seorang karyawan, dia bisa memulai bisnis sampingan.
  • Jika dia seorang wiraswasta, dia akan menambah modal usahanya.
  • Dia pun bisa saja menyimpan dana 1 miliar tersebut untuk biaya pendidikan anak-anaknya.
Apa pun itu, semuanya baik dan sang suami akan merasa sangat terbantu.
Bagaimana kalau istrinya panjang umur? Ya syukur.
Kedua, jika suami memang tidak butuh uang pertanggungan dari istri, uang itu bisa disumbangkan ke lembaga sosial atau orang-orang yang membutuhkan.
Ini bisa jadi ladang amal yang luar biasa baik bagi suami maupun istri. Kapan lagi bisa menyumbang, katakanlah, sebesar 500 juta atau 1 miliar, kalau bukan dari asuransi?
Marilah kita luaskan cakrawala visi kita ke hal-hal yang spiritual, bukan sekadar bicara asuransi sebagai kebutuhan dasar belaka, terutama jika kita diberi kemampuan untuk itu.
Selain itu, premi asuransi itu sendiri pada hakikatnya dapat dihitung sebagai sedekah dan karena itu orang yang membayarnya akan mendapat pahala. Mengapa? Karena dana yang terkumpul akan digunakan untuk membantu orang-orang yang mengalami musibah, dan ini bisa terjadi setiap hari. Bedanya dengan sedekah biasa, di sini tidak ada pihak yang posisinya lebih tinggi (pembayar premi) dan tidak ada pihak yang posisinya lebih rendah (penerima manfaat). Keduanya setara, karena penerima manfaat adalah juga pembayar premi, dan pembayar premi pun ada kemungkinan menjadi penerima manfaat.
Mau membantu orang setiap hari? Jadilah peserta asuransi.
Ketiga, teori yang menyatakan ibu rumah tangga tidak butuh asuransi jiwa, sebetulnya hanya berlaku untuk asuransi jiwa dalam pengertian risiko meninggal dunia. Bicara soal risiko lain, misalnya penyakit kritis dan cacat, teori tersebut tidak berlaku sama sekali.
Bicara tentang penyakit kritis, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki risiko tersebut. Bahkan kaum perempuan memiliki kemungkinan yang lebih besar dan jenis penyakit yang lebih banyak. Saya tidak tahu statistiknya, tapi dilihat dari premi, biaya asuransi penyakit kritis (dan kesehatan pada umumnya) untuk perempuan lebih tinggi ketimbang laki-laki.
Keempat, suami akan lebih merasa aman jika istrinya pun punya asuransi penyakit kritis.
Jika seorang ibu rumah tangga terkena penyakit kritis, siapa yang akan menanggung biayanya? Tanpa asuransi, siapa lagi kalau bukan suami. Dan sungguh, akan sangat memberatkan bertindak sebagai “perusahaan asuransi” bagi orang-orang yang kita cintai.
Berapa UP yang Ideal untuk Ibu Rumah Tangga?
Pertanyaan selanjutnya, berapa UP yang ideal untuk ibu rumah tangga?
Jika premi bukan masalah, menurut saya, sebaiknya UP asuransi untuk istri sama dengan UP yang dimiliki suami. Kenapa? Hal itu menunjukkan besarnya penghargaan yang diberikan suami dan istri kepada satu sama lain. Bukankah suami istri harus saling menghargai secara setara?
Dalam hal besarnya UP jiwa untuk istri, ada satu gagasan mulia yang saya baca di blogJunior Planner, kutipannya di bawah ini:
Buatkan asuransi jiwa untuk istriku dengan uang pertanggungan yang sama dengan diriku. Karena jika istriku lebih dulu meninggal, maka aku akan keluar dari pekerjaanku saat ini. Aku akan tinggal di rumah untuk menggantikan semua tugas-tugas istriku dalam membesarkan anak-anakku sampai mereka mandiri kelak.
Itu bicara UP jiwa. Dalam hal UP penyakit kritis, bukankah kita tak pernah tahu, siapa yang membutuhkan biaya lebih besar?
Semoga artikel ini bermanfaat bagi yang membacanya.

No comments:

Post a Comment